![]() |
GUS MIEK |
Gus Miek Bertemu KH. Dalhar, Watucongol
19/03/2010 — Dunia pesantren
Setelah menunjukkan kemampuannya
kepada kedua orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus MIek melanjudkan
studinya di Lirboyo. Di tengah-tengah penddidikannya di Lirboyo, Gus
Miek justru pergi ke Watucongol Magelang, ke pondok pesantren yang
diasuh KH. Dalhar yang terkenal sebagai seorang wali di Jawa Tengah.
KH.
Dalhar adalah seorang di antara tiga wali yang termasyhur di Fawa
Tengah. Ketiga wali itu adalah KH. Hamid, Kajoran, Magelang, sebagai
wali dakwah; dan KH. Dalhar sendiri sebagai wali hakikat. Akan tetapi,
sejak KH. Dalhar wafat pada 1959, menurut sebagian pendapat, posisinya
digantikan KH. Mangli, Muntilan, Magelang.
Awal kedatangannya di Watucongol
pada 1954, Gus Miek tidak langsung mendaftarkan diri menjadi santri,
tetapi hanya memancing di kolam pondok yang dijadikan tempat pemandian.
Hal itu sering dilakukannya pada setiap datang di Watucongol
kebiasaannya memancing tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat
para santri mandi dan mencuci pakean, membuat Gus Miek terlihat seperti
orang gila bagi orang yang belum mengenalnya. Setelah beberapa bulan
dengan hanya dating dan memancing di kolam pemandian, ia lalu menemui
KH. Dalhar dan meminta izin untuk belajar.
“Kiai, saya ingin ikut belajar kepada kiai,” kata Gus Miek ketika itu.
“Belajar apa tho, Gus, kok kepada saya,” tanya KH. Dalhar.
“Saya ingin belajar Al Qur’an dan Kelak ingin saya sebarkan,” jawab Gus Miek dengan mantap.
KH. Dalhar akhirnya mau menerima
Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al Qur’an. Akan tetapi,
Gus Miek tidak hanya sampai di situ saja, ia berulang kali juga meminta
berbagai ijsah amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan
ketenangan hidupnya. Seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada
pada KH. Dalhar, terutama dalam hal kepasitas KH. Dalhar sebagai seorang
wali, mursyid tarekat, dan pengajar Al Qur’an. Gus Miek juga seolah
ingin mempelajari bagaimana seharusnya menjadi seorang wali, apa saja
yang harus dipenuhi sebagai seorang mursyid, dan seorang pengajar Al
Qur’an.
Setiap kali Gus Miek meminta
tambahan ilmu, KH. Dalhar selalu menyuruh dia membaca Al Fatehah. Apa
pun bentuk permintaan Gus Miek, KH. Dalhar selalu menyuruhnya
mengamalkan Al Fatehah.
Barangkali karena ajaran KH.
Dalhar sersebut, Gus Miek banyak memberikan ijasah bacaan Al Fatehah
kepada para pengikutnya untuk segala urusan. Bahkan apabila ingin
berhubungan dengan Gus Miek, cukup dengan membacakan Al Fatehah saja.
Dan, bias jadi inilah yang mengilhami Gus Miek (di samping ijasah yang
diberikan oleh Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin yang disampaikan
kepada adiknya) menerapkan ajaran sejumlah bacaan Al Fatihah dalam
kegiatan wirid Lailiyah yang didirikannya pada tahun 1961, yang kemudian
berkembang menjadi Dzikrul Ghofilin pada 1973..
KH. Dalhar,bagi Gus Miek, adalah
satu-satunya orang yang dianggap sebagai guru dunia dan akhirat. Oleh
karena itu, selama berada di Watucongol, Gus Miek dengan telaten selalu
membersihkan terompah KH. Dalhar, dan menatanya untuk lebih mudah
dipakai ketika KH. Dalhar naik ke masjid. Menurut Gus Miek, hal itu
dilakukan sebagai upayanya untuk belajar istiqamah. Sebab istiqamah,
menurut ajaran KH. Djazuli, ayahnya, adalah lebih utama dari 1000
karomah. Oleh karena itu, dalam rangka melatih keistiqamahannya, Gus
Miek memulai dengan istiqamah membersihkan dan menata terompah KH.
Dalhar gurunya.
Pernah, di suatu hari, Gus Miek
menemukan trompah KH. Dalhar yang biasanya ada di depan kamar ada dua
buah yang sama persis baik ukuran maupun bentuknya sehingga ia tidak
bias membedakannya. Bungkul (tangkai tempat menjepit antara jari kaki)
terompah KH. Dalhar terbuat dari emas, terompah yang satu juga sama.
Akhirnya, ia membersihkan dan menata keduanya sambil menunggu siapakah
tamu gurunya itu. Sekian lama ia menunggu sampai terkantuk-kantuk,
tetapi terompah itu tetap dua buah jumlahnya. Ketika sesaat ia terlena,
terompah itu tinggal satu. Ia terkejut, kemudian berlari jauh keluar
pondok untuk melihat tamu tersebut sepanjang jalan sehingga nafasnya
tersengal-sengal. Tetapi, jalan tampak sepi dan tidak ada seorang pun
terlihat melintas. Padahal, menurut perkiraan Gus Miek, orang tua yang
berjalan memakai terompah itu pasti belum jauh dan seharusnya sudah
terkejar atau justru berada jauh di belakangnya.
Esok harinya, Gus Miek menemui
KH. Dalhar yang baru turun dari masjid memimpin jama’ah shalat Zuhur,
sesampai di kamarnya Gus Miek bertanya: “Maaf, Guru, tamu Guru tadi
malam itu siapa?”
KH. Dalhar tidak menjawab,
sementara Gus Miek tidak mau beranjak sebelum mendapatkan jawaban. Gus
Miek tatap duduk menunggu jawaban dari KH. Dalhar. Ketika KH. Dalhar
beranjak ke masjid untuk mengimami shalat Ashar, ia mengikutinya untuk
menata terompah KH. Dalhar. Dan, ketika KH. Dalhar kembali ke kamar, Gus
Miek pun kembali mengikutinya dan duduk di depan kamar untuk menunggu
jawaban. Demikian juga ketika saat tiba waktu shalat Maghrib dan Isya.
Sehingga, baru ketika sesudah Isya, KH. Dalhar menyuruh pembantunya
memberi tahu bahwa tamunya semalam adalah Nabi Khidir. Setelah
mendapatkan jawaban itu, barulah ia mau beranjak dari tempat duduknya.
Menurut keterangan Nyai Dalhar, dari sekian banyak santri KH. Dalhar,
hanya Gus Miek yang berani dan diizinkan masuk ke kamar KH. Dalhar.
Kegiatan Gus Miek di Watucongol
selain mengaji Al Qur’an, Gus Miek juga tetap sering bepergian ke
pasar-pasr, tempat hiburan, dn mengadu ayam jago. Kebiasaan ini membuat
Gus Miek sering harus berhadapan dengan Gus Mad, putra KH. Dalhar, yang
kebetulan saat itu memegang tanggung jawab sebagai keamanan pondok
karena Gus Miek dianggap sering tidak disiplin. Sedangkan santri yang
sering menemani Gus Miek saat di Watucongol adalah Bakri (KH.Bakri),
kini pengasuh Pesantren Al Qur’an, Jampiroso, Kacangan, Boyolali.
Pernah Gus Miek menyuruh
beberapa gus di Kediri agar buru-buru mondok di tempat KH. Dalhar karena
dia akan meninggal. Semua berbondong ke tempat KH. Dalhar. Saat itu,
Gus Miek menyatakan bahwa KH. Dalhar akan meninggal sekitar 23 Ramadhan
1959, begitu semua datang ke Watucongol, ternyata KH. Dalhar masih
sehat. Tercatat di antara orang-orang yang pergi ke Watucongol adalah
KH. Mubasyir Mundzir dan Gus Fu’ad (adik Gus Miek).
Pernah KH. Djazuli menugaskan
Gus Nurul Huda untuk datang ke Watucongol mewakili KH. Djzuli untuk
menyerahkan adik-adiknya yang mondok ke Watucongol. Di Watucongol, Gus
Huda di samping menyerahkan adik-adiknya kepada KH. Dalhar sebagaimana
amanat KH. Djazuli, juga meminta maaf bila bila adiknya, Gus Miek,
banyak melakukan kekeliruan di Watucongol. Tetapi, jawab KH. Dalhar
waktu itu justru sangat mengejutkan Gus Huda, “Gus Miek itu difatihahi
mental,” jawab KH. Dalhar. Gus Huda hanya tersenyum karena dia sudah
paham akan adiknya yang satu itu.
Dalam versi yang lain
diceritakan bahwa bukan Gus Huda yang menyerahkan Gus Miek, tetapi
kebalikannya. Saat itu, Gus Huda dan Gus Fua’ad disuruh KH. Djazuli agar
mondok ke KH. Dalhar. Saat hendak berangkat, Gus Miek masih duduk di
teras dengan hanya memakai celana pendek.
“Mau ke mana, Mas Dah?” tanya Gus Miek.
“Aku disuruh bapak mondok ke Jawa Tengah dengan Fu’ad,” jawab Gus Huda.
Keduanya kemudian berangkat
dengan naik kereta api. Sesampainya di Watucongol, ternyata Gus Miek
sudah berada di teras pondok dengan pakaian masih seperti tadi pagi
ketika di kediri.
“Kenapa di sini?” tanya Gus Huda yang sudah mengenal kelebihan adiknya.
“Mengantar kalian kepada Kiai Dalhar,” jawab Gus Miek.
“Aku tidak mau kalau pakaianmu
seperti itu,” jawab Gus Huda sambil memberikan pakaiannya ke pada Gus
Miek untuk berganti pakaian.
Mereka bertiga kemudian sowan.
Setelah sowan, Gus Miek mengantarkan memilih kamar dan setelah itu
hilang entah ke mana dengan meninggalkan pakaian Gus Huda.
Akhirnya, semua memburu Gus Miek
karena dianggap telah berbohong perihal kematian KH. Dalhar. Tetapi
semua menjadi terdiam ketika 25 Ramadhan 1959, KH. Dalhar benar-benar
meninggal dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar